Ketika Seorang Avoidant dan Anxious Menjalin Hubungan, Apakah Akan Berakhir Toxic?
Dalam dunia psikologi attachment (pola keterikatan), ada dua tipe yang sering kali bertolak belakang tetapi justru saling tertarik: avoidant attachment (menghindar) dan anxious attachment (cemas). Hubungan antara dua tipe ini bisa terasa seperti tarikan dan dorongan yang tak berkesudahan—satu pihak ingin lebih dekat, sementara yang lain terus menjauh.
Pertanyaannya, apakah hubungan antara seorang avoidant dan anxious selalu berakhir toxic? Atau adakah cara agar hubungan ini bisa berjalan dengan sehat?
Mengenal Avoidant dan Anxious Attachment
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami karakteristik masing-masing tipe keterikatan ini:
1. Avoidant Attachment (Tipe Menghindar)
Orang dengan avoidant attachment cenderung merasa tidak nyaman dengan kedekatan emosional. Mereka lebih suka menjaga jarak dan sulit terbuka dalam hubungan. Beberapa ciri khas mereka:
- Merasa independen dan tidak suka bergantung pada pasangan.
- Cenderung menekan atau mengabaikan emosinya sendiri.
- Mudah merasa terkekang jika pasangan terlalu menuntut perhatian.
- Sulit mengekspresikan kasih sayang secara emosional.
2. Anxious Attachment (Tipe Cemas)
Sebaliknya, orang dengan anxious attachment justru sangat mendambakan kedekatan dan validasi dari pasangan. Mereka cenderung:
- Sering merasa cemas jika pasangan tidak memberikan respons yang cukup.
- Membutuhkan banyak kepastian dan afirmasi cinta.
- Takut ditinggalkan atau diabaikan.
- Bisa menjadi terlalu clingy atau menuntut perhatian berlebihan.
Dengan karakter yang berlawanan ini, hubungan antara avoidant dan anxious sering kali seperti permainan tarik-ulur yang melelahkan.
Mengapa Avoidant dan Anxious Saling Tertarik?
Meski tampaknya tidak cocok, avoidant dan anxious justru sering tertarik satu sama lain. Mengapa?
- Dinamika Ketertarikan Berlawanan
Avoidant melihat anxious sebagai seseorang yang penuh kasih sayang, perhatian, dan selalu ada. Sementara itu, anxious melihat avoidant sebagai tantangan—seseorang yang misterius dan sulit didapatkan. - Mengulangi Pola Masa Lalu
Banyak orang tertarik pada pola hubungan yang mereka alami di masa kecil. Jika seorang anxious tumbuh dengan figur orang tua yang kadang memberi perhatian dan kadang menjauh, mereka mungkin merasa “terbiasa” dengan pola tarik-ulur ini dalam hubungan dewasa. - Adanya Ilusi Harapan
Orang dengan anxious attachment sering berharap bahwa mereka bisa “mengubah” seorang avoidant agar lebih terbuka. Sementara itu, avoidant mungkin berpikir bahwa anxious akan belajar untuk “tidak terlalu membutuhkan perhatian.” Sayangnya, ini sering kali berujung pada kekecewaan.
Apakah Hubungan Ini Akan Selalu Toxic?
Jawabannya: tidak selalu, tetapi sangat mungkin menjadi toxic jika tidak ada kesadaran dan usaha dari kedua belah pihak.
Ketika anxious terlalu menuntut perhatian dan avoidant semakin menarik diri, hubungan bisa berubah menjadi siklus yang menyakitkan:
- Anxious merasa diabaikan → Menuntut lebih banyak perhatian.
- Avoidant merasa tertekan → Makin menjaga jarak.
- Anxious makin panik → Menjadi lebih clingy atau emosional.
- Avoidant semakin menjauh → Bahkan bisa mengakhiri hubungan secara tiba-tiba.
Jika pola ini terus terjadi, hubungan bisa terasa melelahkan dan penuh konflik emosional, bahkan berubah menjadi toxic.
Bagaimana Cara Menjalin Hubungan yang Sehat?
Meski menantang, hubungan antara avoidant dan anxious tetap bisa berhasil jika ada pemahaman dan usaha dari kedua pihak. Berikut beberapa strategi yang bisa membantu:
1. Meningkatkan Kesadaran Diri
Kedua pihak harus menyadari pola attachment masing-masing. Anxious harus belajar untuk mengelola kecemasan dan tidak terlalu bergantung pada pasangan untuk validasi. Sementara itu, avoidant perlu belajar untuk lebih terbuka dan tidak langsung menarik diri saat merasa terancam.
2. Komunikasi yang Jelas dan Jujur
- Avoidant: Cobalah untuk lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaan, meskipun terasa tidak nyaman.
- Anxious: Belajarlah untuk menyampaikan kebutuhan emosional dengan cara yang tidak menekan atau menuntut.
3. Mengatur Ekspektasi dengan Realistis
Anxious tidak bisa mengharapkan avoidant tiba-tiba menjadi orang yang sangat ekspresif dalam hubungan, dan avoidant juga harus menerima bahwa anxious memang membutuhkan lebih banyak kepastian dan kehangatan.
4. Belajar untuk Saling Memberikan Ruang
Avoidant perlu memahami bahwa kedekatan tidak selalu berarti kehilangan kebebasan, sedangkan anxious harus belajar bahwa memberikan ruang bagi pasangan bukan berarti mereka tidak peduli.
5. Jika Perlu, Dapatkan Bantuan Profesional
Jika hubungan terasa terlalu sulit atau terus-menerus mengalami pola yang sama, terapi pasangan atau konseling bisa menjadi solusi untuk memahami pola attachment dengan lebih baik.
Kesimpulan
Hubungan antara seorang avoidant dan anxious attachment tidak harus selalu berakhir toxic, tetapi bisa menjadi toxic jika kedua pihak tidak sadar akan pola mereka dan tidak berusaha untuk menyesuaikan diri.
Kuncinya adalah komunikasi yang sehat, kesadaran diri, serta usaha untuk bertemu di titik tengah. Jika masing-masing individu mau bekerja sama dan memahami kebutuhan pasangan, hubungan ini masih bisa berjalan dengan baik dan bahkan berkembang menjadi lebih sehat.
Namun, jika hubungan terus-menerus terasa melelahkan dan menyakitkan tanpa adanya perubahan, penting untuk bertanya: Apakah hubungan ini benar-benar layak untuk diperjuangkan?
Karena pada akhirnya, hubungan yang sehat adalah hubungan di mana kedua pihak bisa tumbuh bersama, bukan saling menyakiti.